Di jaman yang sekarang ini banyak sekali anak gadis yang menggunkan pakainan adat bali yang tidak sesuai dengan maknannya. Sejak dahulu hingga sekarang pakaian adat Bali selalu berubah sesuai perkembangan jaman, seharusnya dalam menggunakan pakaian adat Bali harus sesuai dengan makna dari pakaian adat Bali. Namun banyak saya lihat adanya perkembangan yang mengarah pada pergeseran nilai atau makna dari pakaian adat Bali, Maaf tidak ada keinginan saya untuk mengatakan itu jelek namun hanya dari sudut pandang agama saja dan itupun sebatas pandangan saya.
Saya tau bahwa pakaian itu merupakan produk budaya manusia, sehingga Agama Hindu tidak menyeragamkan pakaian penganutnya karena kitab suci agama Hindu adalah wahyu Tuhan bukan produk manusia yang mengayomi, mengangkat, dan memaknai budaya lokal, walaupun demikian Agama Hindu mengajarkan susila.
Sehingga pakaian ke pura itu adalah pakaian yang bisa menumbuhkan rasa nyaman baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa kesucian, dan mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna tidak ngejreeeng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran
Bukan berarti agama Hindu menolak modernisasi atau menolak modifikasi, namun kita sebagai penganutnya harus bisa menempatkan dimana seharusnya modernisasi dan modifikasi itu ditempatkan, kalau tidak begitu bila semua berpakaian modifikasi sampai pemangku bermodifikasi bagaimana jadinya suasana di pura.
Manusia sebenarnya sudah terlahir sebagai makhluk yang suci. Jadi sebenarnya secara logika, kita sembahyang telanjang bulat pun tidak masalah. Lalu mengapa harus berbusana? pakaian itu diciptakan dengan tujuan untuk menutupi badan, dan baju merupakan salah satu bagian dari alat upacara. Manusia menciptakan sarana upakara dengan tujuan kita bisa lebih memahami ajaran agama kita. Dasar konsep dari Busana adat Bali adalah konsep tapak dara (swastika).
Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga, yang terdiri dari:
- Dewa Angga : dari leher ke kepala
- Manusa angga : dari atas pusar sampai leher
- Butha Angga : dari pusar sampai bawah
- Busana adat Nista : Busana yang di gunakan sehari hari dan ngayah ( busana yang belum lengkap) busana ini tidakbisa di pakai persembahyangan.
- Busana adat Madya : Busana ini di gunakan untuk persembahyangan, secara filosofis busana ini sudah lengkap.
- Busana Adat Agung : Untuk upacara pernikahan atau pawiwahan. ( sudah lengkap secara aksesoris)
Contoh berbusana yang baik dan yang kurang sesuai untuk ke Pura.
1.Berikut busana yang bisa di tiru untuk kepura
Kamen yang digunakan
mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka
seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis
dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk
sembahyang ke pura.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Kamen yang digunakan
mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka
seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis
dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk
sembahyang ke pura.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Kamen yang digunakan
mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka
seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis
dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk
sembahyang ke pura.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Kamen yang digunakan
mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka
seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis
dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk
sembahyang ke pura.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Kamen yang digunakan
mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka
seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis
dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk
sembahyang ke pura.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Kamen yang digunakan
mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka
seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis
dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk
sembahyang ke pura.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Kamen yang digunakan
mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka
seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis
dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk
sembahyang ke pura.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Kamen yang digunakan
mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka
seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis
dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk
sembahyang ke pura.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Kamen yang digunakan
mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka
seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis
dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk
sembahyang ke pura.
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin
2. Busana yang Kurang Pantas untuk ke Pura (kurang sesuai)
Berikut akan dijelaskan tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali
ke Pura tersebut.
1. Busana adat ke Pura untuk putra
Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen.
Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki
merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak
kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan
panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma. Pada
putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya
menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol
penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan.
Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang
berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita
tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan
(kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk
menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar.
Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah
mengendalikan hal-hal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua
yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul
hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat
putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi
apapun siap memegang teguh dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju
(kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus
berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus
menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan
memperindah diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang
pasti. Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng (destar). Udeng secara
umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng
dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada
udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai
lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran.
Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji
Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi,
dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma.
Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan
simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala
atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih
meminta. Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada
tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi
masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak
ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat
kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi.
2.
Busana adat ke
Pura untuk putri
Gambar Pusung Tagel
|
|
Gambar Pusung Gonjer
|
Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan kamen.
Lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep
sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng
dari ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena
pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah lebih
pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi
untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan
selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai
sakti dan mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju,
agar selalu siap membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma.
Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih,
rapi, dan sopan. Penggunaannya sama seperti baju pada putra. Kemudian
dilanjutkan dengan menghias rambut. Pada putri rambut dihias dengan pepusungan.
Secara umum ada tiga pusungan yaitu pusung gonjer untuk putri yang masih
lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan
dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat sebagian
dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai
mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah pusung tagel adalah
untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung podgala/pusung
kekupu. Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu
cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri Murti.
Dari uraian diatas, saat kita berhubungan dengan Tuhan yang kita mulai dari
bawah. Kita rapikan dan kendalikan dahulu dari bawah lalu keatas. Nah itulah
tahapan-tahapan kita dalam menggunakan busana adat. Dengan mebaca uraian diatas
hendaknya kita bisa mewujudkan hal itu. Karena jika kita sudah memahami yang
benar dan tidak melaksakannya kita akan berdosa. Dan jika anda tahu salah dan
tidak memperbaikinya dosanya akan bertambah besar. Dengan memahami busana
adat ke pura, setidaknya kita bisa menjadi umat Hindu yang baik. Semoga bermanpaat dan kedepannya kita semua lebih baik lagi.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapussuksme
BalasHapussuksma udah mo berbagi
BalasHapusmau bertanya untuk peraturan pemakaian baju adat bali ini sumbernya darimana ya ? soalnya mau pake bahan untuk presentasi jadi kalo ditanya sepert itu biar saya tau dasarnya darimana
BalasHapus