Kamis, 04 Juni 2015

MAKNA PAKAIAN ADA KE PURA ( PAKAIAN ADAT BALI)


Kali ini saya gak bercerita tentang diri saya sndiri , tapi saya bercerita tentang cara berpakainan adat yg sudah semakin jauh menyimpang dari kebudayaan kita,... di jaman yg sekrang ini globalisasi sangat mempengaruhi jaman. Segala aspek telah berubah drastis, termasuk etika dalam berbusana adat  Bali terutama adat ke Pura. 
Di jaman yang sekarang ini banyak sekali anak gadis yang menggunkan pakainan adat bali yang tidak sesuai dengan maknannya. Sejak dahulu hingga sekarang pakaian adat Bali selalu berubah sesuai perkembangan jaman, seharusnya dalam menggunakan pakaian adat Bali harus sesuai dengan makna dari pakaian adat Bali. Namun banyak saya lihat adanya perkembangan yang mengarah pada pergeseran nilai atau makna dari pakaian adat Bali, Maaf tidak ada keinginan saya untuk mengatakan itu jelek namun hanya dari sudut pandang agama saja dan itupun sebatas pandangan saya. 
Saya tau bahwa pakaian itu merupakan produk budaya manusia, sehingga Agama Hindu tidak menyeragamkan pakaian penganutnya karena kitab suci agama Hindu adalah wahyu Tuhan bukan produk manusia yang mengayomi, mengangkat, dan memaknai budaya lokal, walaupun demikian Agama Hindu mengajarkan susila.
Sehingga pakaian ke pura itu adalah pakaian yang bisa menumbuhkan rasa nyaman baik yang memakai maupun yang melihat, menumbuhkan rasa kesucian, dan mengandung kesederhanaan, warnanyapun akan lebih baik yang berwarna tidak ngejreeeng, jadi karena pakaian bisa menumbuhkan kesucian pikiran
Bukan berarti agama Hindu menolak modernisasi atau menolak modifikasi, namun kita sebagai penganutnya harus bisa menempatkan dimana seharusnya modernisasi dan modifikasi itu ditempatkan, kalau tidak begitu bila semua berpakaian modifikasi sampai pemangku bermodifikasi bagaimana jadinya suasana di pura. 
Manusia sebenarnya sudah terlahir sebagai makhluk yang suci. Jadi sebenarnya secara logika, kita sembahyang telanjang bulat pun tidak masalah. Lalu mengapa harus berbusana? pakaian itu diciptakan dengan tujuan untuk menutupi badan, dan baju merupakan salah satu bagian dari alat upacara. Manusia menciptakan sarana upakara dengan tujuan kita bisa lebih memahami ajaran agama kita. Dasar konsep dari Busana adat Bali adalah konsep tapak dara (swastika). 
Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga, yang terdiri dari:

  1.  Dewa Angga : dari leher ke kepala
  2. Manusa angga : dari atas pusar sampai leher 
  3. Butha Angga : dari pusar sampai bawah
 Secara umum busana adat Bali di bagi menjadi 3 bagian yaitu : 

  1. Busana adat Nista : Busana yang di gunakan sehari hari dan ngayah ( busana yang belum lengkap) busana ini tidakbisa di pakai persembahyangan.
  2. Busana adat Madya : Busana ini di gunakan untuk persembahyangan, secara filosofis busana ini sudah lengkap.
  3. Busana Adat Agung : Untuk upacara pernikahan atau pawiwahan. ( sudah lengkap secara aksesoris) 
Namun yang memprihatinkan saat ini tren busana yang banyak di gunakan sudah tidak sesuai dengn makna dari pakainan adat Bali,  sebagian besar para gadis munggunakan pakaian adat yang kurang sesuai menurut saya, tidak hanya para gadis saja yang mengikuti tren busana tersebut, para ibu - ibu juga mengikuti tren ini. Kamben yang di gunakan mulai di singsingkan naik sehingga betisnya terlihat. mereka seolah - olah ingin menunjukkan lekuk tubuh dan keindahan betisnya, di bandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke Pura.
Contoh berbusana yang baik dan yang kurang sesuai untuk ke Pura.
1.Berikut busana yang bisa di tiru untuk kepura









Kamen yang digunakan mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke pura.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Kamen yang digunakan mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke pura.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Kamen yang digunakan mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke pura.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Kamen yang digunakan mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke pura.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Kamen yang digunakan mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke pura.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Kamen yang digunakan mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke pura.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Kamen yang digunakan mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke pura.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Kamen yang digunakan mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke pura.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Kamen yang digunakan mulai disingsingkan naik yang membuat betisnya terlihat. Mereka seolah-olah lebih ingin menunjukkan lekukan tubuh dan keindahan betis dibandingkan dengan mengingat tujuan utama mereka berbusana untuk sembahyang ke pura.

Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

 


2. Busana yang Kurang Pantas untuk ke Pura (kurang sesuai)






Berikut akan dijelaskan tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali ke Pura tersebut.



1.     Busana adat ke Pura untuk putra

Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat sedikit agar kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti. Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma. Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta. Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.



2.      Busana adat ke Pura untuk putri






Gambar Pusung Tagel













Gambar Pusung Gonjer



Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya sama seperti baju pada putra. Kemudian dilanjutkan dengan menghias rambut. Pada putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu pusung gonjer untuk putri yang masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung podgala/pusung kekupu. Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri Murti.



Dari uraian diatas, saat kita berhubungan dengan Tuhan yang kita mulai dari bawah. Kita rapikan dan kendalikan dahulu dari bawah lalu keatas. Nah itulah tahapan-tahapan kita dalam menggunakan busana adat. Dengan mebaca uraian diatas hendaknya kita bisa mewujudkan hal itu. Karena jika kita sudah memahami yang benar dan tidak melaksakannya kita akan berdosa. Dan jika anda tahu salah dan tidak memperbaikinya dosanya akan bertambah besar.  Dengan memahami busana adat ke pura, setidaknya kita bisa menjadi umat Hindu yang baik. Semoga bermanpaat dan kedepannya kita semua lebih baik lagi.

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. mau bertanya untuk peraturan pemakaian baju adat bali ini sumbernya darimana ya ? soalnya mau pake bahan untuk presentasi jadi kalo ditanya sepert itu biar saya tau dasarnya darimana

    BalasHapus